Kemelut
sosial, politik, budaya, dan agama di zaman Hassan Hanafi, menggiringnya untuk merancang suatu gerakan taktis
"countre hegemoni wacana" yang diyakininya dapat menjadi kekuatan tanding atas problem yang dihadapi tersebut. Kiri Islam merupakan terminologi yang dipilih olehnya untuk membangun
gerakan sosial revolusioner dan membawa gagasan pembebasan melalui penghancuran
konstruksi lama yang serba reaksioner, dalam hal ini feodalisme dan kapitalisme
yang mencengkram hegemoninya kedalam kesadaran masyarakat, termasuk dunia Timur
(Islam).
Internalisasi
gerakan difokuskan pada dua hal mendasar, yaitu pada sisi internal berupa
reposisi dan pembacaan kembali tradisi sendiri, dan eksternal berupa pembacaan
tradisi lain. Dari sinilah Hasan Hanafi mulai menggedor gendering perang
terhadap produk-produk kebudayaan Barat yang penuh kepalsuan serta mulai
memantapkan basis epistemologis tradisi Islam.
Penekanan
Hanafi bahwa tugas kiri Islam ialah melokalisasi Barat, dengan kata lain
mengembalikan Barat kepada batas-batas wilayahnya dan menepis mitos “mendunia”
yang dibangun dengan target menjadikan dirinya sebagai pusat peradaban dunia
sekaligus peradaban ideal bagi bangsa-bangsa lain. Perlu kiranya dipertegas
juga bahwa secara epistemologis, gagasan ini lebih merupakan upaya pembacaan
kembali tradisi Barat yang sebenarnya memiliki probel eksistensial. Dibutuhkan
pengadaan upaya demitologisasi atas tradisi Barat untuk mengungkapkan
kelemahan-kelemahan epistemologis dalam upaya memaksakan diri sebagai paradgima
yang mendunia.
Bukti
kongkrit akan hal tersebut yakni gagalnya ideologi modern kontemporer dalam
wilayah praktis, utamanya yang terjadi dalam konteks sosial politik Mesir.
Begitu juga gagalnya liberalism Barat yang tidak sanggup memajukan kondisi
perekonomian masyarakat. Rontoknya sosialisme Negara dimana revolusi awal
terjadi di Mesir pada Juli 1952 ternyata hanya mengubah system pemilikan dan
cara-cara produksi, namun tidak mengubah kebudayaan massa yang masih dalam
wajah tradisional.[1]
Demikian halnya dengan sosialisme Islam yang pernah ada di Mesri, menrutu
Hanafi bahwa itu hanya merupakan manipulasi teks untuk memberikan legitimasi
aturan-aturan yang diundangkan pemerintah. Agama dijadikan alat untuk
mendiskereditkan semua oposisi dan politik sekaligus dijadikan alat tafsir
spiritual atas kegagalan Negara. Hasilnya adalah terbentuknya kelas baru dengan
elit penguasa di puncak dan tumbuhnya feodalisme baru di pedesaan dan
kapitalisme baru di sector swasta.
Semua
ini merupakan kategori-kategori sosial yang tidak dapat dipahami dan dicerna
oleh masyarakat. Akbitanya, ia mengalami kegagalan dalam menggerakkan dan
member perspektif baru bagi rakyat. Barangkali juga, terminology ini menjadi
inspirasi bagi ilmu-ilmu sosial di dunia Timur yang pada tahun 1970-an masih
disibukkan dengan perdebatan perlu tidaknya indegenisasi (pribumisasi). Sifat
keilmuan dengan perdebatan perlu tidaknya pribumisasi. Sifat keilmiahan sebuah
ideologi jelas berbda dengan sifat kerakyatan sebuah agama. Sehingga diskursus
ideologi kaum intelektual boleh saja tetap berlangsung, dan elit intelektual
revolusioner boleh juga membentuk kepemimpinan berbasis massa.
Satu
hal juga harus diingat bahwa dalam masyarakat mistis, ideology ilmiah merupakan
sesuatu yang hampir pasti mustahil. Sedangkan ritualisme kesukuan, atau yang
oleh Hanafi disebut sebagai fundamentalisme, telah terperosok dalam ritualisme
tanpa makna, tanpa aspek ekonomi, politik dan sosial. Keduanya memiliki
kelemahan yang sangat mendasar, yaitu keluar dari mainstream historitas
kemanusiaa.[2]
Dengan demikian, bangunan epistemology yang hendak
dirumuskan oleh Hanafi untuk merumuskan paradigma bagi gerakan pembebasan
adalah penguatan pemahaman atau pengetahuan masyarakat atas kekayaan
tradisi-tradisi Islam serta memberikan analisis sosial berperspektif Marxian.
Pilihan paradigmataik untuk mengedepankan Kiri Islam jelas mengacu
kepada analisis kelas yang mendominasi sosialisme dan buka semata
Marxisme-Leninisme. Hanafi mencoba memodifikasi Marxisme-Leninisme sebagai
tumpuan ide sosialismenya, seperti Sosialisme Arab. Paradigma itu perlu
dimodifikasi karena hakikat materialism determisitik historis yang meniscayakan
kehancuran ideologi-ideologi modern; seperti kapitalisme, feodalisme dan
kemenangan proletar, ditolaknya secara tega Determinisme historis yang
meniscayakan kebebasan manusiai itu dibneri ruh non-materilaistik, seperti
pemunculan unsur-unsur progresif dalam agama dan pranata lain yang bersifat
keruhanian atau kesejahteraan.[3]
Munculnya unsur-unsur progresif-transformatif dalam dunia Islam
membuat Hassan Hanafi mulai berbicara tentang keharusan dunia Islam
mengembangkan wawasan kehidupan progresif, dengan dimensi pembebasan (taharrur/liberation)
di dalamnya[4] Watak pembebasan dari
wawasan progresif bertumpu pada beberapa unsur penopang. Di satu sisi gagasan
akan keadilan sosial harus ditegakkan, jika manusia ingin berperan sebagai pelaksana
ketuhanan (khalifatullah) di muka bumi. Seorang khalifah harus memiliki otonomi
penuh atas dirinya, dan itu dapat dicapai melalui tegaknya keadilan sosial.
Prinsip keadilan sosial bias menembus segala bentuk dan corak
pemerintahan. Di sisi lain keadilan sosial hanya dapat terwujud jika ada
pejuang pembebasan umat manusia yang terorganisir. Meski Islam menyuarakan
pembebasan, tetapi ia tidak dapat dijadikan ideology yang semata-mata berfungsi
memperjuangkan pembebasan. Keseluruhan warisan kesejahteraan Islam menunjuk
kepada keharusan pencegahan hubungan langsung antara Islam dan kekuasaan. Bagi
Hanafi, Islam sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideology populis yang ada,
dan pada waktu itu Mesir diwarnai oleh sosialisme.
Demikian
kuatnya keyakinan Hanafi akan pentingnya tumbuhnya orientasi keislaman sebagai
ideologi populis, akhirnya ia mencetuskan gagasan yang dikenal dengan Kiri Islam
(al-yasar al-islami atau Islamic Left). Terminologi “kiri” dalam
banyak hal mengandung kesan stigmatik, terutama tatkala dihadapkan kepada
konstruksi dasar pengetahuan konservatif dalam memahami agama (Islam). Bila
dikaitkan dengan situasi global, istilah “kiri” seolah terinspirasi oleh
gerakan kaum sosialis atau spirit Herbert Marcuse (1898-1979), filosof
Madzhab Frankfurt yang disebut sebagai pemberi ruh bagi New Left dan
pemikirannya menjad inspirator lahirnya revolusi mahasiswa tahun 1968. Semua
ini menunjukkan bahwa terminologi “kiri” selalu bersentuhan dengan
gerakan-gerakan massa revolusioner.
Secara
substansial istilah ini merupakan gagasan berbasiskan sistem epistemology rasional-kritis
yang bertujuan untuk bersikap kritis terhadap bangunan pengetahuan dominan yang
membelenggu dan manipulatif. Dalam pengetahuan yang dominan seringkali
bersembunyi berbagai kepentingan ideologis. Pada aras inilah, gagasan Kiri Islam
yang diperkenalkan Hanafi memberi ruh gerakan yang bertujuan untuk selalu melihat
realitas obyektif sekaligus melakukan pemeriksaan terhadap akar kegagalan dari
berbagai idelogi modern.
Kiri Islam
merupakan sintesis dari eksplorasi atau tafsir ulang yang cerdas terhadap khazanah
keilmuan Islam dan analisis konsep Marxian atas kondisi obyektif (tradisi) yang
mengakar dalam sebuah masyarakat. Tradisi yang dimaksudkan adalah tradisi keagamaan
yang membentuk medan kebudayaan massa. Bahkan dalam banyak hal Kiri Islam
bertumpu pada tiga dataran metodologi: tradisi atau sejarah Islam, fenomenologi
dan analisis sosial Marxian. Hanafi berkeyakinan bahwa Kiri Islam bias berhasil
jika realitas masyarakat, politik, ekonomi, khazanah Islam dan tantangan
Barat dapat
dianalisis dan konstruksi dasar bangunan epistemologisnya ditemukan.[5]
Untuk menganalisis hal di atas, Hanafi menggunakan metode fenomenologi dengan mengungkapkan
dua hal pokok: Islam telah dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan melembaga
dalam kehidupan bangsa Arab.[6] Analisis sosial perpektif
Marxian menampilkan dua realitas kontras secara diametral: kaya-miskin,
penindas-tertindas, penguasa-dikuasai, tuan tanah-buruh, terbelakang-maju, dan
sebagainya. Analisis ini mirip dengan oposisi biner (binnary-oppositition)
yang diperkenalkan filosof strukturalisme, Fredinand de Sausure.
Menurut
Hanafi, Kiri Islam lahir setelah melihat berbagai kegagalan dalam metode pembaruan
masyarakat Timur (Islam) yang dilakukan oleh beberapa generasi dalam mengentaskan
keterbelakangan dan kemiskinan. Hal ini disebabkan karena beberapa hal.
Pertama, berbagai tendensi keagamaan yang terkooptasi kekuasaan menjadikan agama
(Islam) sekedar ritus dan kepercayaan yang bersifat ukhrawi. Padahal
“realitas Islam” bukan merupakan representasi dari “sistem Islam”, sehingga
gebyar ritus dan perayaan tersebut justru menjadi topeng yang menyembunyikan
wajah dominasi tradisi Barat dan kapitalisme. Sementara itu, kecenderungan
keagamaan yang tidak terkooptasi terjebak dalam fanatisme primordial, kejumudan
dan berorientasi pada kekuasaan.
Kedua,
liberalisme yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi berakhir terlihat
didikte oleh kebudayaan Barat, berperilaku seperti penguasa kolonial dan hanya
melayani kelas-kelas elit yang menguasai aset negara. Ketiga, Marxisme yang
berpretensi mewujudkan keadilan sosial dan menentang kolonialisme, ternyata
tidak diikuti dengan pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka sebagai
energi untuk mewujudkan tujuan-tujuan kemerdekaan nasional.
Keempat,
nasionalisme revolusioner yang berhasil melakukan perubahan-perubahan radikal
dalam sistem politik-ekonomi ternyata tidak berumur lama, banyak mengandung
kontradiksi dan tidak mempengaruhi kesadaran mayoritas rakyat. Itulah sebabnya
Kiri Islam dimunculkan dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan pergerakan
nasional dan prinsip-prinsip revolusi sosialis, dengan cara mengembangkan
khazanah intelektual klasik yang berdimensi revolusioner dan berpijak pada
kesadaran rakyat.
Tugas Kiri
Islam dengan demikian adalah menguak unsur-unsur revolusioner dalam agama dan
menjelaskan pokok-pokok pertautan antara agama dan revolusi. Agama dalam
perspektif historis menjadi landasan dan revolusi menjadi tuntutan zaman. Agama,
menurut Hanafi,[7] adalah revolusi itu sendiri
dan para nabi merupakan revolusioner pembaru sejati. Ibrahim adalah cerminan
revolusi akal yang menundukkan tradisi-tradisi buta, yaitu revolusi tauhid
melawan berhala-berhala.
Musa
merefleksikan revolusi pembebasan melawan otoritarianisme. Isa adalah contoh revolusi
ruh atas dominasi materialisme, sedangkan Muhammad merupakan teladan kaum
miskin dan komunitas tertindas dalam menghadapi para konglomerat elit Quraisy
dalam perjuangan mereka untuk menegakkan masyarakat yang bebas, penuh persaudaraan
dan egaliter.
Kiri Islam jelas merupakan konstruksi ideologi yang digali dari
aspek-aspek revolusioner agama. Sebagai sebuah ideologi, Kiri Islam memuat
landasan filsafat, perangkat analisis sosial, dan tahapan-tahapan gerakan. Kiri
Islam juga telah memuat seperangkat gagasan, cita-cita, konsep dan keyakinan
pemihakan yang tegas, dan dorongan untuk berjuang mewujudkan cita-cita ideologi
tersebut. Bahkan ia sanggup memberikan cara membaca yang kritis dalam melihat
dan menangkap realitas, eksistensi, dan manusia.
[1] Hassan Hanafi, The Genesis of
A Secular Ideology, ( Mesir: Cukor, 1985), h. 132.
[2] Ibid., h. 137
[3] Abdurrahman
Wahid, “Hassan Hanafi dan
Eksperimentasinya”, Pengantar dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam; Antara
Modernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Terj.
Imam Azis, (Yokyakarta: Lkis., 1993), h. xiv.
[4] Hassan Hanafi, From Faith to
Revolution, (Spanyol: Cordova Press, 1985), h. 231.
[5] Boullata, Islamika,
edisi, I, (Juni-Sept, 1993), h. 23.
[6] Hanafi, Tafsir
Fenomenologi, Terj. Yudian W. Asmin, (Yokyakarta: Bismillah Press, 2001),
h. 68.
[7] Hanafi, From Faith to
Revolution… Op.cit., h. 142.
0 comments:
Post a Comment