Memahami
pemikiran Ali Syariati terkait dengan berbagai macam hal dan diskursus
keilmuan, tentu bukan merupakan hal yang mudah, mengingat posisinya yang begitu
getol dalam menanggapi segala hal yang dihadapi, bisa dikata bahwa Syariati
adalah salah satu tokoh yang melahirkan berbagai macam diskurus kewacanaan
terkait dengan kompleksnya kehidupan.
Tulisan ini hanya fokus mengurai secara singkat nuansa keilmuan Syariati terkait dengan tiga hal, yaitu :
Tulisan ini hanya fokus mengurai secara singkat nuansa keilmuan Syariati terkait dengan tiga hal, yaitu :
1. Pandangan Dunia
Hampir semua peradaban umat manusia dipastikan mempunyai worldview.
Bangsa Jerman misalnya, mempunyai konsep worldview dengan istilah weltanschauung.
Kata welt berarti dunia, sedangkan kata anschauung berarti
persepsi. Jadi weltanschauung adalah persepsi tentang dunia. Sedangkan
bangsa Rusia menggambarkan pandangan tentang dunia dengan istilah mirovozzenie.
Worldview pada
umumnya diikat dengan predikat kultural, religius atau saintifik. Dari sini
kemudian muncul istilah Christian worldview, medieval worldview, scientific worldview,
modern worldview dan the worldview of Islam. Yang terpenting dari worldview
adalah dari mana bermula?. Thomas Kuhn (1922-1996) menggunakan worldview
sebagai paradigma yang menjadikan nilai seabgai tolok ukur (standard)
dan metode tertentu yang mengikat kerja-kerja saintifik. Dan menurut Syariati
bahwa Alquran adalah sumber inspirasi untuk membangun worldview yang darinya
semestinya berbagai disiplin ilmu lahir.[1]
Gagasan apapun yang lahir dari seseorang pasti dipengaruhi oleh
mazhab pemikiran yang ia anut. Jika seseorang percaya pada mazhab pemikiran tertentu,
maka kepercayaan, emosi, jalan hidup, aliran politik, pandangan-pandangan
sosial, konsep-konsep intelektual, keagamaan dan etikanya tidaklah terpisah dengan
pandangan dunianya, dan karenanya pula maka mazhab pemikiran pada akhirnya
dapat menciptakan gerakan, membangun dan melahirkan kekuatan sosial.[2]
Mazhab pemikiran pada intinya harus memiliki sistem penopang dasar, dimana
darinya semua gagasan dapat berkembang, penopang dasar tersebutlah yang disebut
dengan pandangan tentang dunia (world view); entah itu berorientasi
ketuhanan, bercorak materialistik, naturalistis, idealistis, fasis, Marxis, dan
sebagainya. Seseorang yang tidak memiliki pandangan tentang dunia ibarat seseorang
yang mempunyai banyak perabot rumah tangga; ia terus-menerus memindahkannya
dari satu rumah ke rumah lain tanpa tertata dengan baik. Bagi Ali Syari’ati,
lebih baik seseorang tidak mempunyai bahan ketimbang tidak mempunyai rancangan.
Pandangan tentang dunia kata Syariati adalah pemahaman yang dimiliki
seseorang tentang wujud atau eksistensi. Misalnya, seseorang yang menyakini
bahwa dunia ini mempunyai Pencipta Yang Sadar dan mempunyai kekuatan atau kehendak,
dan bahwa dari catatan dan rekaman akurat yang disimpan, ia akan menerima
ganjaran atas amal perbuatannya atau dia akan dihukum lantaran amal
perbuatannya itu, maka ia adalah orang yang mempunyai pandangan tentang dunia
religius. Berdasarkan pandangan tentang dunia inilah seseorang lalu mengatakan:
”Jalan hidupku mesti begini dan begitu dan aku mesti mengerjakan ini dan itu”,
inilah makna memiliki ideologi agama. Dengan demikian, idealism Hegel, materialisme
dialektik Marx, eksistensialisme Heiddeger, Taoisme Lao Tsu, wihdatul wujud al-Hallaj,
semuanya adalah pandangan tentang dunia. Setiap pandangan tentang dunia ataupun
mazhab pemikiran pasti akan memperbincangkan konsep manusia sebagai konsep
sentral.[3]
Pandangan tentang dunia seseorang dipengaruhi oleh aspek-aspek
spiritual dan material yang khas dari masyarakatnya. Menurut Henry Bergson, dunia
yang dipandang oleh seorang individu yang hidup dalam suatu masyarakat tertutup
merupakan suatu dunia yang terkungkung. Begitu juga sebaliknya, seorang
individu yang hidup dalam masyarakat yang terbuka memandang dunia luar sebagai
sesuatu yang tidak terbatas, ekspansif dan senantiasa bergerak. Masyarakat dan
agama selalu menentukan visi manusia tentang dunia yang kemudian mempengaruhi
tindakan-tindakannya. Oleh karena itu, membahas pandangan tentang dunia pada
hakikatnya membahas tentang manusia sebagai subjek. Karena pandangan tentang
dunia mempengaruhi seseorang dalam mengambil pilihan tindakannya, maka
mempelajari pandangan hidup suatu komunitas sosial atau bangsa berarti mempelajari
tipe-tipe dari bentuk-bentuk dan pola kebudayaan serta berbagai karakteristik
yang dikembangkan oleh komunitas atau bangsa tersebut.[4]
Salah satu pandangan tentang dunia yang berkembang adalah paham
materialisme yang menyatakan bahwa hanya ada satu realitas fundamental di alam
semesta ini yaitu materi. Dalam pandangan materialisme, semua elemen, fenomena,
aksi serta reaksi di alam ini dapat diterangkan sebagai manifestasi materi.
Materialisme juga menyatakan bahwa alam semesta ini tidak diciptakan oleh suatu
kemauan atau kekuatan yang cerdas, demikian juga tidak ada alasan yang mendasari
penciptaan sejak awal mulanya. Dengan demikian, pandangan materialisme telah melahirkan
manusia dalam posisi teraleniasi dari dunia yang melingkupinya.[5]
Gerakan Renaissance di Barat pada hakikatnya telah melahirkan, bahkan
memperkuat, pandangan materialistik yang berujung pada pencarian kenikmatan
hidup (hedonisme) yang muara akhirnya adalah menciptakan absurdisme yang
merasuki seluruh bidang ilmu seperti seni, sastra dan filsafat. Kalau pandangan
tentang dunia religius ortodoks akan melahirkan cara pandang yang serba
keakhiratan dan pengkerdilan peran
manusia, maka pandangan materialistik hanya mendasarkan semata-mata pada ilmu.
Pandangan tentang dunia materialistik menemukan alam semesta sebagai absurd,
tanpa pemilik dan tanpa makna, sedangkan pandangan hidup religius ekstrim
memerosotkan manusia menjadi makhluk yang sepele.[6]
Di tengah dominasi pandangan tentang dunia yang materialistik
sekarang ini, Ali Syari’ati menegaskan dirinya pada pilihan pandangan dunia
religius. Jenis pandangan dunia ini yakin bahwa jagat raya adalah sesuatu yang
datang dari Tuhan, sadar dan responsif terhadap tuntutan-tuntutan spiritual
serta aspirasi manusia. Hanya saja, kerangka dasar pandangan dunia yang
bersifat religius yang dimaksud adalah cara pandang yang berbasis pada hasil
riset ilmiah yang bersifat saintifik bukan bentuk yang ortodoks atau ekstrim.
Ali Syari’ati mengambil pilihan pandangan hidup sintetik di antara kutub ekstrim
di atas yaitu pandangan hidup religius humanistik yang mensublimasi
unsur manusia sebagai makhluk yang progresif, selalu mencari kesempurnaan dan
sangat manusiawi.[7]
Kritik Ali Syari’ati terhadap Barat adalah karena cara pandang mereka
yang positivistik dimana melalui proyek sekularisasi ilmu pengetahuan dipisahkan
dari konteks kemanusiaan.[8]
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tingginya ilmu pengetahuan dan
teknologi justru melahirkan alienasi manusia dari nilai kemanusiaannya sendiri.
Peranan kesejarahan manusia dalam menjalani hidup di dunia ini kata
Syariati adalah bergerak pada dua kutub yang saling berhadapan. Kutub
pertama merupakan kutub negatif yang diwakili oleh mereka yang menghambat kemajuan
dengan melakukan kejahatan-kejahatan, dekadensi, penindasan, memperbudak, ,
menegakkan tirani atas rakyat, dan sebagainya. Kutub kedua adalah kutub positif
kemanusiaan yang menentang tirani dan ketidakadilan demi tegaknya perdamaian, keadilan
dan persaudaraan. Kedua kutub tersebut selalu berebut ruang dominasi dalam
mengisi ruang sejarah umat manusia.[9]
Senjata dari kedua kutub tersebut adalah agama, dengan demikian yang terjadi
adalah perang agama melawan agama[10]
Ilustrasi yang menarik antara pertarungan dua kutub itu dapat dilihat dari
narasi historis pertarungan antara Qabil dan Habil dalam al-Qur’an yang
berakhir terbunuhnya Habil di tangan Qabil yang mengandung arti Simbolik tentang
sejarah awal umat manusia. Dalam kitab-kitab suci dunia dijelaskan betapa kelas
Qabil menjadi kelas dominan yang sifatnya kejam dan selalu berusaha menentukan
nasib sejarah manusia sesuai dengan keinginannya yang disimbolisasikan dengan
tiga wajah, yaitu emas, kekuasaan dan agama. Di dalam al-Qur’an dan Taurat,
tiga wajah tersebut masing-masing diwakili oleh Firaun yang mensimbolisasikan
kekuasaan, Qarun yang mensimbolisasikan kekayaan dan kekuatan ekonomi, dan
Ba’lam Bauri yang mensimbolisasikan kelas pendeta penguasa. Mereka merupakan manifestasi
tiga segi dari satu Qabil.
Kelas Qabil melestarikan kekuasaannya atas massa sepanjang zaman.
Kelas ini memonopoli kekayaan dengan memeras massa, memegang kekuasaan dalam
bentuk pemerintahan dan berbagai institusi untuk mendominasi massa, serta
menyalahgunakan agama untuk membenarkan legitimasinya sebagai penguasa. Dari
narasi sejarah Qabil dan Habil telah lahir dualisme kelas, yaitu kelas penguasa
dan kelas yang dikuasai meskipun mereka berawal dari unitas kemanusiaan Adam
yang kemudian melahirkan dualisme sistem sosial yang berbeda.
Dalam pertarungan antara dualisme kosmik ini, agama menjadi faktor
determinan dalam menanamkan kekuatan yang suci, lestari untuk membangun sikap
keberagamaan yang penuh harmoni. Cerita Habil dan Qabil yang melahirkan
dualisme kelas dijadikan oleh Ali Syari’ati sebagai cara baca dalam melihat
kecenderungan manusia modern yang hakikatnya menjelma dalam pertarungan antara
kelas feodal dengan kelas borjuis. Pada Abad Pertengahan, feodalisme merupakan
kelas dominan yang merupakan infrastruktur masyarakat, sedangkan suprastrukturnya
adalah agama yang berfungsi sebagai legitimasi. Namun kekuasaan kelas feodalisme
tergeser dengan lahirnya kelas borjuis baru yang lahir sebagai akibat kontak hubungan
perdagangan antara Timur dan Barat.
Kontak ini telah meruntuhkan tatanan nilai pedesaan, monastik, mistik
dan kepausan dan menggantinya dengan tradisi industrial, urban, sekuler, intelektual
dan nasional. Borjuasi baru sebagai kelas penguasa telah meletakkan prinsip-prinsip
dan keyakinan norma moral dan kultural di atas individualisme, materialisme dan
liberalisasi ekonomi serta politik. Sampai sekarang ini spirit yang mendominasi
kebudayaan dan peradaban adalah spirit borjuasi yang melahirkan semangat
dehumanisasi.[11]
Ali Syari’ati menawarkan gagasan pandangan tentang dunia religius
humanistik untuk memerangi dualisme tersebut sehingga manusia akan
menemukan keesaan yang orisinil dalam rangka membangun kesadaran manusia pada
misinya sebagai wakil atau khalifah Tuhan di muka bumi. Menurutnya, manusia
adalah makhluk merdeka dan memiliki potensialitas tanpa batas untuk menentukan
nasibnya sendiri dan bukan ditentukan oleh kekuatan eksternal dengan membangun
semangat Tauhid.[12]
Ali Syari’ati memahami agama bukan sebagai kumpulan doktrin yang
lebih berdimensi ritual saja. Menurutnya, agama adalah sumber lahirnya
kesadaran (awareness), landasan etik (morality), tanggungjawab (responsibility)
dan kehendak bebas (free will) yang mampu menggerakkan pemeluknya
menjadi kekuatan pembebas dari determinasi ideologi-ideologi multitheism yang
menindas.
2.
Filsafat Penciptaan Manusia
Masalah manusia adalah hal yang paling penting dari segala masalah.
Beberapa pertanyaan pokok diajukan untuk menjelaskan betapa pentingnya masalah
seputar kemanusiaan dalam Islam. Apakah manusia makhluk yang lemah dan tidak
mempunyai daya di hadapan Penciptanya? Benarkah Islam menginginkan keluhuran
martabat manusia? Benarkah keyakinan terhadap Islam itu sendiri akan
menyebabkan lemahnya manusia? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang berdimensi
filosofis yang perlu diuraikan jawabannya. Ali Syari’ati menjawab pertanyaan-pertanyaan
di atas dengan menguraikan filsafat penciptaan manusia.[13]
Sebelum Allah menciptakan Adam sebagai wakil-Nya di muka bumi, Allah
memberitahu kepada para malaikat. Mendengar rencana Allah untuk menciptakan
manusia tersebut para malaikat menanggapinya dengan sikap pesimistis, terutama
tentang bayang-bayang kerusakan yang akan timbul di muka bumi. Namun pesimisme
mereka dijawab langsung oleh Allah dengan mengatakan bahwa Ia lebih mengetahui
apa saja yang mereka tidak ketahui.
Menurut Ali Syari’ati Allah menciptakan manusia sebagai wakil-Nya (khalifah)
dari bentuk yang paling rendah, yaitu tanah, dan kemudian ditiupkan ruh
kepadanya maka lahirlah manusia. Dengan demikian manusia diciptakan oleh Allah
dari dua hakikat yang berbeda, yaitu tanah bumi dan ruh yang suci. Dalam bahasa
manusia, tanah (lumpur) adalah symbol dari kerendahan dan kenistaan, dan dalam
bahasa manusia juga, Tuhan adalah Dzat Maha sempurna dan Maha suci. Dalam
setiap makhluk, bagian yang paling suci adalah spirit atau ruhnya. Oleh karena
itu, menurut Ali Syari’ati, manusia adalah makhluk dua dimensional dengan dua
arah kecenderungan, yang satu membawanya ke bawah kepada stagnasi sedimenter, ke
dalam hakikatnya yang rendah, sementara dimensi lainnya (ruh) cenderung naik ke
puncak spiritualnya yaitu ke Dzat yang Maha suci.[14]
Dengan mendasarkan pada asal kejadiannya, manusia merupakan makhluk yang
mempunyai dua kutub yang kontradiktif. Akan tetapi kebesaran dan kejayaannya
yang unik justru berasal dari kenyataan bahwa ia adalah makhluk yang bersifat
dua dimensional. Dua kecenderungan yang dimiliki oleh menusia berebut ruang
dominasi pada dirinya karena manusia memiliki kebebasan untuk memilih dua
pilihan di antara dua kutub yang kontradiktif tersebut. Setiap pilihan yang
diambil manusia sebagai cermin kebebasan yang dimilikinya akan menentukan nasibnya.
Setelah Allah menyelesaikan penciptaan atas manusia, Allah kemudian memberikan
pengajaran tentang nama-nama, sebagai simbol gagasan tentang pengajaran dan
pendidikan. Pada posisi demikian, Tuhan adalah guru pertama manusia, dan
pendidikan pertama manusia bermula dengan menyebutkan nama-nama. Setelah itu
Tuhan memerintahkan kepada seluruh malaikat untuk bersujud kepadanya dan
bersujudlah para malaikat itu. Fakta inilah yang menurut Ali Syari’ati
merupakan arti sebenarnya dari humanisme.[15]
Menurut Ali Syari’ati keutamaan paling menonjol dari manusia adalah
kekuatan kemauannya. Ia adalah satu-satunya makhluk yang dapat bertindak melawan
dorongan instingnya; sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh makhluk lain.
Kemauan bebas yang dimiliki manusia itulah yang dapat menjadi penghubung
kedekatannya dengan Tuhan. Pertemuan kedekatan manusia dengan Tuhan adalah
karena manusia lahir dari bagian Ruh Tuhan. Dengan demikian apa yang sama dari
manusia dengan Tuhan adalah dimensi ruhnya yang melahirkan konsep kemauan bebas
berkehendak dalam keadaan demikian, manusia memerlukan kehadiran agama yang
mampu menyeimbangkan dan menyelaraskan dimensi-dimensi yang saling bertentangan
yang ada dalam dirinya dan masyarakatnya.[16]
Dengan memperhatikan kerangka berfikir yang dikembangkannya nampak
bahwa Ali Syari’ati adalah seorang intelektual dengan jiwa pemberontak yang
anti kemapanan (status quo) yang cenderung tiran. Ia sendiri melakukan
pemberontakan dengan memberikan gagasan revolusioner untuk membangun kesadaran
umat dalam mencapai kualitas hidupnya.
3.
Pergerakan Sosial
Yang dimaksud dengan program praksis adalah langkah-langkah penerapan
(program aksi) dari ide, gagasan, pemikiran-pemikiran yang telah dibangun oleh seseorang[17]
Setelah Ali Syari’ati merumuskan gagasannya tentang pandangan tentang dunianya,
ia lalu mengajukan pertanyaan dari mana mesti kita mulai? Pertanyaan ini
merupakan masalah strategi sosial dan bukan masalah ideologi. Untuk memulai
menjawab pertanyaan di atas Ali Syari’ati melihat adanya kesenjangan dan tidak
adanya komunikasi intensif antara pemikir-cendekiawan dengan rakyat jelata.
Selama ini para cendekiawan menjadi komunitas eksklusif yang hidup di sangkar
emas dan di menara gading tanpa bisa memahami keadaan rakyat mereka. Ali
Syari’ati mengkritik para cendekiawan Muslim yang jauh dari komunitas rakyat.[18]
Kaum intelektual yang dapat melakukan transformasi sosial adalah kaum
intelektual yang tercerahkan (raushanfekr). Profil kaum intelektual yang
tercerahkan tidaklah harus memperoleh gelar akademik. Kaum intelektual yang
tercerahkan adalah individu-individu yang mempunyai tanggungjawab sosial dan
mempunyai misi sosial. Oleh karenanya tidak semua intelektual tercerahkan.
Banyak intelektual justru hanya menjadi budak-budak kapitalisme yang hanya bekerja
secara manual dan tidak mempunyai tanggungjawab sosial.[19]
Konsepsi kaum intelektual yang tercerahkan sebagaimana digagas Ali
Syari’ati, menyiratkan obsesinya agar para intelektual Muslim mempunyai basis
intelektualitas yang memadai sekaligus mempunyai kepekaan sosial, profil
manusia yang mampu menyeimbangkan kekuatan nalar kognitif dan nalar sosial,
kesalehan individual dengan kesalehan sosial. Salah satu cara mengenali potensi
umat Islam, menurut Ali Syari’ati, adalah memahami taxonomi budaya kita
sendiri. Misalnya, Yunani mempunyai budaya filosofis, Romawi mempunyai budaya
militer dan artistik, India mempunyai budaya spiritualistik dan masyarakat kita
mempunyai budaya Islam dan religius. Adapun yang dimaksud dengan taxonomi
budaya adalah semangat umum yang menentukan badan pengetahuan (body of
knowledge), karakteristik-karakteristik, perasaan, tradisi, pandangan dan cita-cita
rakyat dari suatu masyarakat. Dengan mengenal taxonomi budaya suatu masyarakat kita
akan mengenal kebenaran terdalamnya, kepekaan-kepekaan batinnya dan perasaan-perasaan
yang tersembunyi.[20]
Semangat dominan kebudayan Islam adalah keadilan dan kepemimpinan. Untuk
menemukan kembali semangat tersebut, menurut Ali Syari’ati, kita perlu membangkitkan
semangat ”protestanisme Islam” Istilah ”Protestantisme” yang dilekatkan pada Islam merupakan upaya
Ali Shari’ati meminjam istilah Marx Weber yang menggambarkan gerakan kelompok
Kristen Protestan untuk keluar dari kungkungan dogma dan mencari spirit agama
yang sejati. Menurut tesis Max Weber, agama adalah ideologi yang menimbulkan
perubahan, ketika ia membicarakan etika Protestan dan ruh kapitalisme.[21]
Agar seorang Muslim yang tercerahkan dapat melakukan hal-hal sebagai
berikut: 1. Menyaring dan menyuling sumber-sumber daya masyarakat kita dan
mengubah penyebab kebobrokan menjadi kekuatan atau gerakan; 2. Mengubah konflik
antar kelas dan kelompok sosial menjadi suatu kesadaran akan tanggungjawab
sosial melalui pemanfaatan kesenian, menulis, dan berbicara; 3. Menjembatani
kelompok yang tercerahkan dengan kelompok yang tertindas; 4. Mencegah agar
senjata agama tidak jatuh pada mereka yang tidak patut memilikinya untuk tujuan-tujuan
pribadi; 5. Mengusahakan kebangkitan kembali agama untuk memerangi ketakhayulan;
6. Menghilangkan semangat peniruan dan kepatuhan dalam beragama dengan
menggantinya dengan semangat ijtihad yang kritis dan revolusioner.[22]
Semua itu dilakukan agar umat Islam keluar dari jeratan tiga musuh
Islam yang disimbolkan dengan Fir’aun (penguasa politik tiran), Qarun (penguasa
ekonomi) dan Bal’am (kaum cerdik gadungan), sementara satu golongan dikorbankan
yaitu rakyat.[23]
Kepada Islamlah kita harus kembali, bukan hanya karena ia merupakan agama
masyarakat kita, landasan moral dan spiritual kita, tetapi juga karena ia
merupakan “diri” manusiawi dari rakyat kita. Kita harus keluar dari
kolonialisme Barat dan melepaskan diri dari “memuja yang lain” untuk menjadi
diri kita sendiri dan membangun kesadaran manusiawi serta membangun kesadaran
sejarah dan keaslian kita dengan kembali pada Islam dengan semangat tauhid
sebagai sumbu pembebasan manusia.[24]
Dengan demikian konsep tauhid adalah mabda (tempat bermula)
sebuah kesadaran diri dan gerakan pembebasan diri untuk menciptakan tatanan
kehidupan yang adil dan bermartabat.
[4] Ali Syari’ati, Man In Islam. terj. M. Amin Rais, Tugas
Cendekiawan Muslim, (Cet.II;
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 22-24.
[6] Ibid., h. 34.
[8] Robert Heck and Dawud Reznik, ”The Islamic Thought of Ali Shari’ati
and Sayyid Qutb,” Mod ern Islamic Thought (May, 2007): 2.
[9] Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, Op.cit., h. 37-44. Juga
dapat dilihat Kritik Ali Shari’ati terkait dengan kegagalan humanisme Barat
dalam memposisikan manusia dalam bukunya, Marxism and Other Western
Fallacies , translated by. R. Campbell (Berkeley: Mizan Press, 1980), pp.
15-26.
[11] Ibid., 37-44. Juga dapat dilihat dalam, Marxism and Other Western
Fallacies, Op.cit., h. 15-26.
[12] Dalam pandangan Ali
Shari’ati, ”Tauhid as the unity of nature with metanature, of man with
nature, of man with man, of God with the world and with man.” Lihat Robert
Heck and Dawud Reznik, ”The Islamic
Thought of Ali Shari’ati,” p. 9.
[14] Ibid., h. 6-7. Lihat juga NS Suwito, Transformasi Sosial: Kajian
Epistemologis Ali Syari’ati Tentang Pemikiran Islam Modern (Yogyakarta:
Unggun Religi, 2004), h. 140-142.
[17] Program praksis Ali Syari’ati dituangkan dalam kurikulum lembaga
pendidikan, tempat ia banyak menuangkan gagasan-gagasan revolusionernya, yaitu
Husainiyah Irsyad. Program praksis Ali Shari’ati meliputi empat aspek pokok,
yaitu bidang riset, pendidikan, dakwah dan logistik. Uraian lebih rinci tentang
program aksi Ali Shari’ati, lihat NS Suwito, Tranformasi Sosial , h.
238-253.
[18] Ali Syari’ati, ”What is To Be
Done: The Enlightened Thinkers and Islamic Renaissance.” terj. Rahmani
Astuti, Membangun Masa Depan Islam (Bandung: Mizan, 1993), h. 25-26.
[19] Ibid., h. 29.
[22] Ali Syariati, What is To be Done, Op.cit., h. 52-53.
0 comments:
Post a Comment